Iklan

Lagi, Lagi dan Lagi. Berharap Ringgit, Mereka Bertaruh Nyawa. Bukan Pertama, Tapi Sudah Sekian Kali

Sumber foto di ambil dari salah satu status WhatsApp penulis, Adiank.

Penulis : Adiank dan Muh. Jainudin

Pembuka tulisan ini, merupakan potongan kalimat pada SW (Status WhatsApp) seorang senior saya. Ia wartawan di salah satu perusahaan media di Batam.

Saya tertegun melihat gambar pada SW beliau itu.

Dua jenazah di tepi pantai. Satunya dalam kondisi telentang, lainnya pada keadaan bertelungkup. Tampak berserakan barang-barang di sekitarnya. Tas pinggang, sepatu, hingga sendal jepit.

Para korban, ditemukan di tepi Pantai Tanjung Balau, Johor Bahru, Malaysia, Rabu 15 Desember 2021. Lokasi persis mereka bertolak dari Indonesia belum dipastikan, namun diduga dari Tanjung Uban, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri.

Dua jenazah merupakan bagian kecil dari jumlah korban. Hari Jum'at Tanggal 17 Desember 2021, tepatnya Pukul 23.33 WIB, korban meninggal mencapai 21 orang. Diidentifikasi, mereka semuanya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang didominasi asal Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Potongan kalimat "Bukan pertama, tapi sudah sekian kali" SW Juanda mengingatkan saya pada tragedi serupa November 2016 lalu di Perairan Nongsa, Kota Batam. Hingga proses pencarian dihentikan atau selesai, 54 orang meninggal.

Saat itu, sembari meliput, para wartawan turut membantu menurunkan jenazah yang sampai di Rumah Sakit Bhayangkara Batam. Air mata saya menetes. Momen pertama kali melihat persis di depan mata berjejer banyak sekali kantong jenazah.

Kisah haru kembali terurai dari cerita-cerita korban yang selamat. Mereka kehilangan orang-orang terdekat. Istri, anak, dan sejawat. Di tengah gelombang ombak Selat Melaka, mereka sejatinya tidak tinggal diam. Mencoba saling menyelematkan, namun sayang takdir berkata lain.

Terucap harapan kala itu, semoga tragedi serupa tidak terulang kembali di kemudian hari. Namun apa mau dikata, nyatanya kejadian itu kini terulang.

Harapan kembali tertulis, jangan ada lagi tragedi serupa di kemudian hari.

Negara yang kerap kita sebut Negeri Jiran itu, bagi sebagian orang merupakan salah satu primadona mengais rejeki. Setidaknya begitu yang terlihat dari banyaknya asal Indonesia yang merantau di sana.

Alasan yang lazim terdengar adalah penghidupan yang laik. Tidak jarang ada yang nekat, tidak masuk jalur resmi ilegal-pun jadi.

Ini masalahnya. Sesuatu yang ilegal tentu saja kucing-kucingan.

Pada kasus kapal kayu yang mengangkut TKI Ilegal November 2016, saya yang saat itu masih wartawan koran harian di Batam mendapat tugas mengulik informasi dari para korban yang selamat.

Merujuk pada kejadian itu, tragedi bermula dari keinginan mendapatkan penghidupan yang layak. Nekat datang ke daerah pelintasan. Masuk ke Malaysia menggunakan paspor pelancong. Paspor dengan status ini, tentu mereka harusnya ada di negara tujuan dengan waktu yang sangat terbatas.

Karena niat awal akan bekerja. Tentu saja waktu yang terbatas tidak akan cukup. Masalah kemudian timbul, mereka yang semula tercatat sebagai pelancong dengan sendirinya akan menjadi TKI Ilegal.

Keadaan itu, akhirnya memaksa mereka akan kembali ke tanah air lewat 'jalur tikus' dengan 'bantuan penyedia jasa' pelintasan.

Pengakuan korban yang saya tanya, kapal tidak akan bersandar di tepi pantai namun di tengah laut. Menuju kapal mereka akan menunggu air surut. Itupun untuk menggapai kapal, mereka harus melewati air setinggi leher orang dewasa.

Keadaan yang demikian tersiksa tidak sampai disitu. Di kapal mereka duduk serapat mungkin, dengan posisi menekuk lutut. Setelah semua naik, kapal akan melaju kencang tanpa lampu. Keadaan yang sangat membahayakan.

Sesampai di pantai tujuan, seperti halnya saat naik, mereka juga turun di tengah laut. Alam yang tidak bisa ditebak, tentu saja ancaman. Dalam tragedi November 2016, terungkap para TKI dan tekong terlibat cekcok perihal sewa kapal. Naas ditengah cekcok, kapal dihantam ombak dan tragedi itu terjadi.

Perlu diketahui, tragedi November 2016 merupakan tragedi saat kembali ke tanah air, keluar dari negara tujuan. Sementara, tragedi 15 Desember 2021 (merujuk pada berita) akan menuju negara tujuan.

Hal ini tentu saja sejak awal mereka terkategori TKI Ilegal. Seperti disebut di awal, ilegal tentu saja kucing-kucingan.

Lalu apa solusinya?

Sehingga harapan, tidak akan ada tragedi serupa di masa akan datang.

Saya mencoba mengemukan hasil diskusi sederhana saya dengan senior yang saya sebut di awal tulisan ini.

Poin utama adalah edukasi. Edukasi mereka bahwa yang Ilegal sudah tentu salah. Upaya ini harus berkelanjutan dan tidak situasional pada saat tragedi terjadi. Edukasi lebih dititikberatkan pada upaya preventif.

Kedua, pendapat yang mungkin sering disuarakan, namun tetap relevan untuk tetap disuarakan. Ciptakan lapangan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya. Perananan pemerintah tentu saja krusial lewat program-programnya.

Tidak hanya dari pemerintah, tekad berdikari secara ekonomi harus juga tertanam dalam diri masyarakat. (Saya ingin menulis ini dalam satu tulisan, mungkin dititik beratkan pada kaum muda).

Ketiga, pendapat datang dari salah seorang adik satu kampung dengan saya, Jainuddin. Mantan Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dimensi Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) itu mengatakan, perlu upaya yang lebih ekstra terkait pencegatan di daerah-daerah perbatasan.

Selain itu, perlu ditelusuri apakah di akar rumput ada dugaan keterlibatan para calo dalam menghimpun calon TKI. Jika ada, tentu saja mereka adalah pelaku perdagangan manusia yang harus ditindak tegas.

Post a Comment

0 Comments